0

Pencitraan vs Realita Kehidupan Rumah Tangga

| Saturday 1 October 2022

Suatu hari, di perkumpulan bareng teman-teman perempuan jaman SMA. Ada satu teman yang nyeletuk, 


Ti, apa alasanmu milih suamimu buat nikah? Soalnya di tempatku, nama kamu bagus banget. Nilai kamu plus plus plus. Tapi suamimu, kok kamu mau sih sama dia?

Seketika, saya kaget dong. Kok, bisa teman saya satu ini mempertanyakan hal seperti itu. Sebenarnya saya tidak suka ditanya hal-hal privat seperti itu. Karna itu hak saya ya mau hidup dan memilih hidup seperti apa. Apalagi saya sudah istikharah juga. Jadi mempertanyakan hal itu sama seperti mempertanyakan istikharah saya. Walaupun kemudian saya jelaskan. Ya, sifatnya cocok, agamanya baik, pintar, dermawan. Menurut saya enough, tapi si penaya masih kurang puas seakan tidak percaya. Maunya dengar saya curhat? Tapi saya bukan tipe curhat. 

Memang suami saya punya kekurangan, tapi kelebihannya juga banyak. Kekurangannya bisa saya maklumi dan kelebihannya bisa saya syukuri. Bukankah sudah cukup? Lagian saya juga punya kekuranga. Dan, so far, ya cuma suami saya yang sanggup sabar menghadapi kebengkokan saya dan tidak berekspektasi. Yang lalu-lalu cuma bisa menerima lebihnya saya. Hanya menilai dari plusnya. Terlalu berlebihan dalam berekspektasi. Tidak bisa menerima sisi manusiawi saya

Saya tidak peduli sih apa yang orang katakan tentang suami saya. Apalagi tampilan suami saya memang agak sangar, berotot, dan tidak ramah. Ape lo? Karena pernikahan itu kita yang jalani. Kita yang tau betul apa yang cocok dengan kita. Ngga papa dibilang ngga cocok, asal pada kenyataannya kita nyaman menjalani kehidupan sehari-hari tanpa merasa bosan. Memang  beberapa hal ada yang kontras antara suami dan saya. Tapi kami berusaha mengimbangi satu sama lain dan saling dukung untuk mengejar ketertinggalan. Kami mencoba berjalan seimbang dan beriringan.

Kriteria saya soal akhlak dan agama di atas nilai- nilai materialis duniawi. Dan itu saya temukan pada suami. Karena soal hal duniawi, sangat mudah dikejar. Namun, soal sifat dan agama, tidak banyak yang bisa saling mengimbangi. Kalau yang saya mau hanya soal pendidikan, materi, pekerjaan, kepintaran, popularitas, mungkin saya sudah nikah dari kapan tahun. Tapi, sebagai syarifah, tidak pantas untuk menggunakan itu sebagai kriteria. Bagaimana nanti pertanggung jawaban saya di hadapan zuriyat?

Tidak ada foto-foto estetik rumah tangga kami. Jarang lah postingan di media sosial tentang rumah tangga kami. Kami tidak hidup dalam citra. Kami hidup dalam kenyataan. Adem, ayem, sejahtera. Itu sudah cukup. Lagian kalau suami saya terlihat banyak lebihnya, nanti jadi banyak yang mau punya, deh. Saya tidak rela bagi-bagi, kecuali yang lain mau die ya, haha.

Pernikahan kita diuji dengan apa yang kita niatkan saat menikah. "Barangsiapa ingin keagungan (dalam pernikahan) maka ia diuji dengan kehinaan. Barangsiapa yang memilih ingin kaya maka diuji dengan kemiskinan. Barangsiapa menikah karena agamanya maka Allah himpun baginya kemuliaan, harta dan Agama." Aamiin, aamiin, ya rabbal 'alamain.

Read More......
0

Memilih Dengan Cara-Nya: Menggenap

| Monday 19 September 2022

It has been 13 years since the first time I wrote on my blog. Dan taun ini saya sudah menikah setahun lamanya. It's such a long journey. Tapi kalau disuruh memilih apa yang mau diubah di masa lalu. Tidak ada. Karena saya yang hari ini tidak akan ada tanpa melalui proses panjang dari masa lalu sampa hari ini. May dad passed away in 2017 and everything changed. Wisdom and experience is valuable thing.


Okay, back to topic. Menggenap.

Sebelum menikah, sebenarnya saya agak skeptis tentang kehidupan pernikahan. Karena saya banyak melihat kerabat maupun rekan yang sudah menikah, tidak bahagia dan hidup dengan banyak tuntutan. Jadi ya, paling gitu-gitu doang paling, boring, dan demanding. So, here we go.

Tapi, ternyata pernikahan itu indah.

Lho kok bisa?

Jadi setelah lulus kuliah dan sempat pulang kampung, saya sempat menimba ilmu (ngaji) dengan seorang guru agama, diajak oleh adik saya. Namanya Bapak Munfarid, ulama ilmu hikmah, keturunan Sunan Drajat. Beliau sudah saya anggap bapak kedua bagi saya. Bisa dibilang begini, "Dalam hidup kita punya dua bapak. Bapak pertama adalah bapak kandung, yang darinya nasab mengalir dalam darah kita. Bapak kedua adalah guru kita, yang darinya ilmu mengalir dalam jiwa kita. Bapak kandung membawa kita dari surga ke dunia. Bapak kedua mengantarkan kita dari dunia kembali ke surga." Semoga bisa senantiasa menjaga adab terhadap guru kita.

Saya cukup beruntung, melalui hari-hari sulit saya dengan mendengarkan hikmah yang diajarkan beliau. Dari beliau saya menyadari jati diri saya, nasab saya, dan privilege yang saya punya. Termasuk soal menggenap.

Saya menikah di usia 28 tahun. Usia yang cukup tua sebenarnya. Karena awalnya saya menikah maunya umur 21, haha. Tapi saya bersyukur menikah agak terlambat. Karena kalau tidak terlambat, mungkin hidup saya tidak sebahagia ini. Maksudnya, usia yang sudah cukup matang dan bijak untuk mengendalikan pikiran dan emosi untuk memasuki bahtera rumah tangga. Bisa dibayangkan betapa masih bocil dan ambisnya saya di ukur 21, dan di umur 28, everything in the right path and so calm.

Perjalanan saya menuju pernikahan tidak mudah. Bertemu beberapa laki-laki yang ternyata bukan jodoh saya, yah, cukup merepotkan dan menguras tenaga dan pikiran. Tapi wong namanya bukan jodoh, cukup sampai di situ saja, bukan masa depan.

Jadi, setiap kali saya bertemu laki-laki, saya langsung ceritakan ke Guru dan ke Bapak (selama beliau masih hidup), juga ke adik saya, karena saya segera menemukan solusi. Termasuk tata cara sholah taubat, istikharah, dan hajat. Jadilah setiap yang dekat dengan saya, saya sholatin deh, hehe. Maksudnya, saya istikharahkan, ini baik ga ya buat saya. Baik dan cocok menurut orang lain, belum tentu baik dan cocok buat saya. 

Setiap selesai sholat, biasanya saya dikasih petunjuk berupa mimpi atau sebentuk kemantapan hati dan petunjuk lain yang terpampang nyata di depan mata. Oh, yang ini skip nih. Gangguan jiwa. Yang ini skip, sholatnya bolong-bolong. Yang itu skip, bersekutu dengan jin (ini epic sih haha). Dan skip karena terlalu ambisius mengejar prestasi duniawi.

Dan akhirnya, saya bertemu dengan laki-laki yang menjadi suami saya hari ini. Mengenalnya lebih jauh selama 4 bulan, dikenalkan oleh adik saya. Dalam istikharah saya yang kemudian termaktub dalam hati, barangkali laki-laki ini bukan yang terlihat spesial, bukan pula yang terlihat menonjol. Tapi dengan laki-laki ini, menikah sebagai ibadah akan mudah mengantarkan jalan menuju surga.

Benar. PilihanNya tidak pernah keliru.

Saya yang dulu pernah skeptis, kini berubah 180° dan jadi punya kesimpulan. Ya, menikah dengan orang yang tepat, dengan cara yang tepat, dan niat yang tepat, adalah bibit dari keberkahan dari pernikahan. Barakallahu laka. Kelebihannya menjadi anugerah, kekurangannya menjadi berkah. Alhamdulillah.


Dalam rumah tangga, terkadang ada kerikil-kerikil kecil. Tapi itu bukan masalah. Bisa dihitung dalam setahun kami bertengkar. Itupun hanya saat saya hamil bawaan hormon hehe. Selebihnya, setiap hari adalah tawa dan sepertinya keluarga kecil kami punya bakat pelawak, haha. Family of sanguins. Tuntutan tidak ada sih. Hanya kompromi dan kesepakatan untuk grow together, aku dan kamu mengambil peran masing-masih untuk satu tujuan bersama 

Ternyata menikah dengan mengandalkanNya, dengan mengutamakan agama itu berproses dengan indah ya. Everyday is full of joy! Mashaa Allah Tabarakallah. ♡



Read More......
0

PEMBUKTIAN

| Monday 15 August 2016

Diremehkan memang menyebalkan. Rasanya ingin sekali membuktikan bahwa kamu bukanlah orang yang pantas diremehkan.

Lalu, kamu berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa apa yang diremehkannya itu keliru. Bekerja keras sampai kaya raya karena pernah dihina miskin. Make over cantik karena pernah dihina jelek. Diet habis-habisan karena pernah dihina gendut. Belajar siang malam karena pernah dihina bodoh. Menjadi alim karena pernah dihina bejat. Buat apa....

Sepintas terlihat oke saja menjadikan hinaan orang sebagai pelecut motivasi. Tapi apakah kamu sungguhan bahagia dengan cara seperti itu?

Mengapa justru menghabiskan waktu, tenaga, pikiran untuk membuktikan pada orang-orang yang tidak penting, yang memberi manfaat pun tidak? Come on.. mereka hanya memancing amarahmu saja. Mereka hanya ingin membiaskan tujuan hidupmu yang sesungguhnya. Menjadikanmu orang lain. Kalau kamu terpancing, maka artinya mereka menang. Memang beberapa orang punya "sense of humor" yang buruk. Atau ya, mereka sedang sengaja menguji kesabaranmu. 

Kalau memang kamu tidak pantas diremehkan, waktu sendiri yang akan membuktikan bahwa kamu memang tidak pantas diremehkan.

Lebih baik membuktikan pada yang dicinta saja: Allah dan kekasihNya, keluarga, pasangan halal, teman-teman. Membuktikan bahwa cintamu sungguhan tulus.

Kalau ingin jadi kaya, cantik, sukses, pintar, cakap, sholeh, silahkan. Tapi, biarlah keinginan itu berasal dari dalam diri sendiri, karena terinspirasi, karena adanya cinta, karena adanya harapan untuk jadi orang yang lebih baik di masa depan.

Lalu, biarkan hidupmu berjalan sebagai dirimu sendiri dengan kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan yang hadir dari dalam jiwa.

Rasanya lebih membahagiakan, menjadi diri sendiri dan mencapai apa-apa yang memang sejak awal menjadi bagian dari tujuan hidupmu yang sesungguhnya. 
 

Read More......