0

Ketika Prosedur Hukum Dijadikan Alat Represif: Refleksi atas Kasus Tom Lembong dan Praktik Serupa di Dunia Profesi

| Wednesday, 6 August 2025

Di tengah tuntutan publik terhadap keadilan dan integritas, kita justru menyaksikan bagaimana hukum dan kewenangan bisa dimanfaatkan untuk membungkam kritik serta memperkuat dominasi kelompok tertentu. Salah satu contoh yang menjadi sorotan publik adalah kasus hukum yang menjerat Tom Lembong, di mana seorang auditor bernama Chusnul Khotimah memainkan peran kunci yang patut dipertanyakan dari segi netralitas dan etika profesional.

Apa yang terjadi pada Tom Lembong ternyata tidak berdiri sendiri. Pola yang sama saya lihat dan alami secara langsung dalam dunia profesi arsitek di pemerintahan, di mana seorang penilai dari PUPR—yang kebetulan adalah senior saya di kampus—memiliki peran yang sangat mirip dengan auditor dalam kasus Tom: berposisi sebagai pihak pengontrol narasi, sekaligus pembentuk opini yang mempengaruhi hasil penilaian dan keputusan akhir.

Kasus Tom Lembong: Kritik Diubah Jadi Delik

Tom Lembong, sebagai tokoh publik dan profesional berintegritas, dikenal sering mengkritisi kebijakan pemerintah secara terbuka dan argumentatif. Sayangnya, kritik tersebut justru dijadikan bahan serangan balik oleh kelompok yang merasa terganggu. Dalam proses audit terhadap Tom, Chusnul Khotimah muncul sebagai auditor kunci yang pernyataannya dijadikan landasan hukum untuk menggiring opini dan justifikasi sanksi terhadap Tom.

Yang dipertanyakan bukan hanya hasil auditnya, tapi juga kedekatan, potensi konflik kepentingan, serta dugaan keberpihakan auditor terhadap pihak tertentu, yang menjadikan proses hukum ini terasa jauh dari objektivitas.

Keterkaitan di Profesi Arsitek Pemerintahan: Ketika Penilai Tak Lagi Netral

Dalam ranah profesional, khususnya arsitek dan desain, saya menyaksikan fenomena serupa. Seorang penilai dari PUPR yang memiliki relasi personal dan historis, justru dipercaya menjadi juri dalam kompetisi yang diikuti oleh lawan. Keberpihakannya terlihat jelas, dan pengaruhnya sangat menentukan dalam proses seleksi.

Sama seperti Chusnul Khotimah dalam kasus Tom, penilai ini menggunakan posisinya sebagai alat legitimasi, bukan sebagai penjaga objektivitas. Ini sangat merugikan peserta lain yang berkompetisi dengan jujur dan profesional.

Benang Merah: Ketika Profesionalisme Dikorbankan

Baik dalam kasus Tom Lembong maupun dunia arsitek, terlihat pola yang mengkhawatirkan:

  • Orang yang berani mengkritik atau bersikap independen malah menjadi target.
  • Mereka yang memiliki posisi strategis, seperti auditor atau penilai, digunakan untuk melegitimasi keputusan sepihak.
  • Sistem tidak memiliki mekanisme koreksi yang memadai, bahkan cenderung melindungi pihak yang menyalahgunakan wewenang.

Harapan dan Solusi ke Depan

  1. Audit Etik terhadap Auditor & Penilai: Profesi seperti auditor dan juri kompetisi harus tunduk pada standar etik yang ketat. Bila ditemukan potensi konflik kepentingan, harus segera diganti atau dinyatakan tidak valid.

  2. Perlindungan terhadap Pihak yang Dikritik secara Tidak Adil: Orang-orang seperti Tom Lembong tidak seharusnya menjadi korban karena menyampaikan pendapat. Sebaliknya, negara dan institusi harus melindungi kebebasan intelektual.

  3. Reformasi Prosedur Penunjukan Auditor dan Penilai: Harus ada sistem seleksi dan pengawasan yang menjamin bahwa orang-orang yang berada dalam posisi strategis benar-benar independen.

  4. Budaya Transparansi dan Akuntabilitas dalam Profesi: Dunia profesi tidak boleh dibiarkan menjadi alat balas dendam personal atau politik. Kita membutuhkan sistem yang adil dan transparan dalam semua lini, mulai dari audit sampai penjurian.

Penutup

Apa yang dialami oleh Tom Lembong bukan hanya persoalan pribadi—ini adalah gambaran dari krisis sistemik dalam penegakan hukum dan profesionalisme. Ketika auditor seperti Chusnul Khotimah menjadi alat justifikasi bukan penyeimbang, dan ketika penilai kompetisi profesional berperilaku serupa, maka kita harus bertanya: siapa sebenarnya yang harus diaudit?

Sudah waktunya kita mengedepankan kebenaran, etika, dan keadilan di atas kepentingan kelompok atau relasi personal. Hanya dengan itu, kita bisa membangun dunia profesi yang sehat dan sistem hukum yang benar-benar berpihak pada keadilan.

“Jangan biarkan profesionalisme dibunuh secara perlahan oleh diamnya orang-orang baik.”

Read More......
0

2024 Recap: Klarifikasi dan Penegasan Kebenaran Mengenai Kasus Hukum Ibu Siti Kharisah

| Tuesday, 31 December 2024

Dalam beberapa waktu terakhir, nama saya, Tiara Deysha Rianti, telah dicatut dalam publikasi hukum dan media yang menyoroti kasus di Kebumen dengan tuduhan tidak berdasar terkait keterlibatan dalam tindak pidana korupsi. Klarifikasi ini saya buat untuk meluruskan fakta, sekaligus memberikan ruang bagi keadilan yang patut diterima oleh Ibu Siti Kharisah sebagai tertuduh.

Fakta Kasus dan Putusan Terbaru
Kasus ini bermula dari tuduhan korupsi yang menimpa Ibu Siti Kharisah, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah di Kebumen. Tuduhan melakukan korupsi yang menimbulkan kerugian negara. Namun dalam proses Peninjauan Kembali (PK), sejumlah fakta penting telah terungkap:
  • Tidak Ada Kerugian Negara
Dalam pelaksanaan proyek tersebut, tidak ada Kerugian Keuangan Negara yang ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.  Untuk kepentingan pendakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menggunakan hasil audit dari pihak lain yang tidak memiliki kewenangan resmi berdasarkan Undang-Undang untuk mengevaluasi proyek. JPU menggunakan perhitungan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Kebumen untuk menuntut tertuduh. Padahal di Indonesia satu-satunya lembaga yang berwenang mengaudit untuk menetapkan kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan. Artinya, ada indikasi memaksakan diri untuk membuat tuntutan agar jatuh vonis hukuman. Langkah ini menimbulkan keraguan terhadap kredibilitas tuduhan yang diajukan, serta menunjukkan bahwa kasus ini lebih bermuatan politis daripada murni penegakan hukum.

  • Motif Politik dan Kepentingan Tertentu
Proses hukum yang dijalani Ibu Siti Kharisah menunjukkan adanya indikasi kuat bahwa kasus ini bermuatan politik dan digunakan untuk memenuhi kepentingan beberapa pihak. Hal ini semakin mengaburkan upaya penegakan hukum yang seharusnya dilakukan secara objektif dan profesional. Awalnya JPU mengungkapkan tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan. Namun, JPU tiba-tiba menghadirkan bukti dari pihak eksternal (Dinas PUPR Kab. Kebumen) setelah berjalannya pemeriksaan sehingga terkesan seperti diada-adakan. JPU bahkan mengatakan sendiri seperti disampaikan ke media Kebumen Ekspress:

Karena akhirnya tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan, JPU menggunakan penyalahgunaan wewenang untuk menuntut Ibu Siti Kharisah.

 

  • Pemalusan Dokumen oleh KN
Pada sidang Peninjauan Kembali (PK) terbukti adanya oknum bernama KN yang menjabat sebagai Kepala Bidang melakukan pemalsuan dokumen berkaitan dengan wewenang Ibu Siti Kharisah.


  • Putusan Akhir bahwa Mahkamah Agung Mengabulkan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas nama Siti Kharisah 
Berdasarkan bukti dan fakta yang diajukan, putusan akhir menyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali (PK) Ibu Siti Kharisah dikabulkan oleh Makhamah Agung. Selain itu, hak-hak beliau sebagai pensiunan PNS telah dipulihkan, termasuk pembayaran pensiunan bulanan dan pengembalian denda sebesar 200 juta rupiah. Meski demikian, pengembalian denda sebesar 200 juta yang sebelumnya dijatuhkan masih menjadi proses yang panjang.



Kekeliruan dalam Publikasi
Dalam beberapa publikasi hukum dan media terjadi kesalahan fatal dalam mencatut nama saya tanpa bukti valid. Selain itu, publikasi tersebut gagal mencerminkan fakta-fakta penting yang mendukung pembebasan Ibu Siti Kharisah yakni putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK).

Posisi Saya
Sebagai individu yang tidak terlibat, saya menuntut tanggung jawab dari pihak-pihak terkait untuk mencabut klaim-klaim tidak berdasar yang mencemarkan nama saya. Publikasi yang dibuat tanpa verifikasi yang memadai hanya memperkeruh situasi, menghambat keadilan, dan melukai nama baik pihak-pihak yang terlibat.

Harapan dan Pelajaran
Saya berharap kasus ini menjadi pembelajaran bersama bahwa proses hukum harus didasarkan pada keadilan dan fakta, bukan asumsi atau interpretasi sepihak. Hak seseorang untuk mendapatkan keadilan tidak hanya berlaku bagi Ibu Siti Kharisah tetapi juga bagi individu lain yang turut disebutkan tanpa bukti.

Menutup tahun 2024 dengan terbukanya fakta-fakta dan keadilan, kasus yang sempat mencoreng nama baik Ibu Siti Kharisah akhirnya menemukan titik terang. Setelah melalui proses panjang, akhirnya Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus yang menimpa beliau. Fakta ini sekaligus menegaskan bahwa proses hukum yang dijalani sebelumnya sarat dengan kepentingan politis dan penggunaan bukti yang tidak valid, mengaburkan keadilan yang seharusnya ditegakkan.

Penutup
Saya percaya bahwa keadilan bukan hanya tentang menang di pengadilan, tetapi juga tentang mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat. Untuk itu, kami menyerukan kepada seluruh pihak untuk bersama-sama mematuhi etika jurnalistik dan menjunjung tinggi keadilan demi kebenaran.


Bagi rekan-rekan pembaca blog ini, saya menghimbau untuk selalu mencari kebenaran berdasarkan fakta sebelum menyimpulkan sesuatu. Hanya dengan keberpihakan pada keadilan, kita dapat menciptakan sistem hukum yang lebih baik untuk bangsa ini.

Hormat saya,
Tiara Deysha Rianti

Read More......
0

Pencitraan vs Realita Kehidupan Rumah Tangga

| Saturday, 1 October 2022

Suatu hari, di perkumpulan bareng teman-teman perempuan jaman SMA. Ada satu teman yang nyeletuk, 


Ti, apa alasanmu milih suamimu buat nikah? Soalnya di tempatku, nama kamu bagus banget. Nilai kamu plus plus plus. Tapi suamimu, kok kamu mau sih sama dia?

Seketika, saya kaget dong. Kok, bisa teman saya satu ini mempertanyakan hal seperti itu. Sebenarnya saya tidak suka ditanya hal-hal privat seperti itu. Karna itu hak saya ya mau hidup dan memilih hidup seperti apa. Apalagi saya sudah istikharah juga. Jadi mempertanyakan hal itu sama seperti mempertanyakan istikharah saya. Walaupun kemudian saya jelaskan. Ya, sifatnya cocok, agamanya baik, pintar, dermawan. Menurut saya enough, tapi si penaya masih kurang puas seakan tidak percaya. Maunya dengar saya curhat? Tapi saya bukan tipe curhat. 

Memang suami saya punya kekurangan, tapi kelebihannya juga banyak. Kekurangannya bisa saya maklumi dan kelebihannya bisa saya syukuri. Bukankah sudah cukup? Lagian saya juga punya kekuranga. Dan, so far, ya cuma suami saya yang sanggup sabar menghadapi kebengkokan saya dan tidak berekspektasi. Yang lalu-lalu cuma bisa menerima lebihnya saya. Hanya menilai dari plusnya. Terlalu berlebihan dalam berekspektasi. Tidak bisa menerima sisi manusiawi saya

Saya tidak peduli sih apa yang orang katakan tentang suami saya. Apalagi tampilan suami saya memang agak sangar, berotot, dan tidak ramah. Ape lo? Karena pernikahan itu kita yang jalani. Kita yang tau betul apa yang cocok dengan kita. Ngga papa dibilang ngga cocok, asal pada kenyataannya kita nyaman menjalani kehidupan sehari-hari tanpa merasa bosan. Memang  beberapa hal ada yang kontras antara suami dan saya. Tapi kami berusaha mengimbangi satu sama lain dan saling dukung untuk mengejar ketertinggalan. Kami mencoba berjalan seimbang dan beriringan.

Kriteria saya soal akhlak dan agama di atas nilai- nilai materialis duniawi. Dan itu saya temukan pada suami. Karena soal hal duniawi, sangat mudah dikejar. Namun, soal sifat dan agama, tidak banyak yang bisa saling mengimbangi. Kalau yang saya mau hanya soal pendidikan, materi, pekerjaan, kepintaran, popularitas, mungkin saya sudah nikah dari kapan tahun. Tapi, sebagai syarifah, tidak pantas untuk menggunakan itu sebagai kriteria. Bagaimana nanti pertanggung jawaban saya di hadapan zuriyat?

Tidak ada foto-foto estetik rumah tangga kami. Jarang lah postingan di media sosial tentang rumah tangga kami. Kami tidak hidup dalam citra. Kami hidup dalam kenyataan. Adem, ayem, sejahtera. Itu sudah cukup. Lagian kalau suami saya terlihat banyak lebihnya, nanti jadi banyak yang mau punya, deh. Saya tidak rela bagi-bagi, kecuali yang lain mau die ya, haha.

Pernikahan kita diuji dengan apa yang kita niatkan saat menikah. "Barangsiapa ingin keagungan (dalam pernikahan) maka ia diuji dengan kehinaan. Barangsiapa yang memilih ingin kaya maka diuji dengan kemiskinan. Barangsiapa menikah karena agamanya maka Allah himpun baginya kemuliaan, harta dan Agama." Aamiin, aamiin, ya rabbal 'alamain.

Read More......