2

Magenta

| Monday 26 July 2010

Oleh: Tiara Deysha Rianti
 
“Warna yang sempurna adalah warna yang tidak berwarna. Kelihatannya memang aneh. Tapi memang itulah fakta yang ada. Cahaya yang selama ini kita rasakan, cahaya matahari, adalah perpaduan bebagai jenis warna. Namun, ada satu warna yang mampu mengawali kehidupan kita, menunjukkan bahwa kita hidup, dan bahkan mengakhiri jalan hidup kita.
Merah.”

Krak!
Ah, lagi-lagi spatula kayuku patah. Akhir-akhir ini aku agak emosional. Dan gejala penyakitku sering muncul. Pengumpulan karya tulis ilmiah akan segera berakhir minggu depan. Tapi eksperimen untuk membuktikan hipotesisku belum juga berhasil. Sudah dua minggu darah yang tersimpan di refrigerator menyusut sedikit demi-sedikit. Darah itu darah ayahku.
James Greenstein, seorang astronom yang sangat keren, bagiku. Aku bangga punya ayah seperti dia. Dia berhasil mendemonstrasikan hipotesisnya mengenai Earth Ring, membuat bumi memiliki cincin untuk mengurangi efek pemanasan global. Wajah planet biru ini pun sudah berubah. Setidaknya tampilannya tidak lebih buruk dari Saturnus. Dan sebagai penghargaan kepada ayah, perkumpulan astronom sedunia memberinya tugas yang sangat fenomenal. Mengganti teleskop Hubble dengan teleskop James Webb, teleskop yang jauh lebih canggih dari Hubble, teleskop yang mungkin tidak akan diganti dalam lima dekade ke depan.
Prang!
Sudah lebih dari tiga kali dalam seminggu ini terdengar bunyi nyaring piring di dapur. Ayah sudah pulang dari tugasnya. Seharusnya dia pulang dengan membawa cerita menarik karena berhasil melaksanakan tugas yang tidak semua orang dapat melakukannya. Tapi, yang terjadi adalah sebaliknya. Dia dibawa oleh beberapa rekannya masuk ICU dengan wajah yang sangat pucat. Aku lebih shock lagi ketika dokter memvonis Ayah  menderita sickle-cell anemia. Kata rekan satu timnya, Ayah terkena radiasi sinar kosmis berlebih yang menyebabkan mutasi pada sel darah merahnya.
Aku terus melanjutkan eksperimenku. Bahkan terkadang aku tertidur di laboratorium. Rekan penelitianku kadang menganggap aku gila. ‘Mana mungkin penyakit genetis seperti sickle-cell bisa disembuhkan’ kata mereka dengan nada sinis. Tapi, aku selalu berusaha dan berharap. Bahkan, walaupun semua orang di dunia ini tak percaya adanya obat untuk penyakit ini, aku tetap meneruskan eksperimenku. Ya, selama harapan itu ada, aku akan terus mencobanya.
Segala cara kucoba untuk menemukan obat yang cocok. Mulai dari ide pencangkokan sum-sum tulang belakang sampai menginjeksikan obat ke dalam tempat pembentukan sel darah merah. Tak mau lama menunggu, kucoba mereaksikan ekstrak darah dengan beberapa sampel tumbuhan. Aha, ada salah satu dari sampel tumbuhan yang bereaksi. Tiba-tiba…
Argh! Sial!
Sekali lagi rasa sakit di dadaku menghentak-hentak, membuat tubuhku lemas bermandikan keringat dingin. Aku lepas kendali. Tabung reaksi yang semula kupegang erat, jatuh berantakan di lantai. Kenapa rasa sakit ini datang di saat-saat seperti ini?
Segera kududuki kursi laboratorium yang tersandar tak jauh dari tempat aku berdiri. Ugh! Mungkin memang aku butuh sedikit  istirahat. Jam digital berbentuk diamond sejenak menyeret perhatianku. Sudah jam dua belas lewat tujuh menit. Ya, mungkin memang aku harus segera pulang.

L_J

Pagi-pagi sekali tabung reaksi dan peralatan laboratorium lainnya sudah kuacak-acak. Campur sampel ini, tetes sampel itu. Kucoba mengulangi mereaksikan ekstrak DNA darah dengan sampel tumbuhan yang sempat kupecahkan kemarin. Ada reaksi. Segera kuperiksa susunan DNA darah itu di bawah mikroskop elektron. Berhasil! DNA sel darah merah yang berbentuk sabit itu memperlihatkan tampilan yang mengejutkan. Bukan tampilan yang buruk. Tapi, sebuah tampilan perubahan DNA sel darah merah kembali menjadi DNA sel normal. Ajaib!
Kunyalakan notebook pribadiku. Susunan karya ilmiahku tinggal menambahkan hasil eksperimen dan kesimpulan. Selesai sudah.

L_J

”Dan Juara I Karya Tulis Ilmiah tahun ini adalah ... Deyna Greenstein.”
Mister Gladwich menyebutkan namaku. Aku berhasil! Aku berhasil memenangkan kompetisi ini. Kulangkahkan kakiku ke podium yang tepat berada di tengah peserta. Ya, semua mata menatapku penuh rasa kagum. Aku menjadi pusat perhatian.
Suara Mister Gladwich kembali menyadarkanku dari secuil lamunanku. Kini aku berada di atas podium. Mister Fereder, ketua Penyelenggara Karya Tulis Ilmiah, segera mengalungkan medali penghargaan dan memberikan ucapan selamat. Saat itu juga piagam dan hak paten atas penemuanku kudapatkan. Thanks God!
Tak sia-sia aku lembur setiap malam. Tak sia-sia Ayah menyerahkan sebungkus darahnya untukku. Aku berhasil. Aku benar-benar berhasil. Tak cuma untuk Ayah. Tapi, untuk semua penderita sickle-cell anemia di seluruh dunia.
Dua jam lagi proses injeksi akan dilakukan ke tubuh ayah. Aku terus berharap hasil kerjaku itu dapat merontokkan sel-sel sabit yang telah melumpuhkan ayah. Tiba-tiba...
Argh!
Mungkin ini sudah untuk yang kesekian kalinya rasa sakit ini muncul. Kurasakan semua benda di hadapanku mengaburkan dirinya dan ...
Bruk!

L_J

Proses injeksi ayah sudah berlangsung sukses. Tiga hari kemudian, keadaan ayah berangsur-angsur membaik. Ayah mengajakku menonton pertandingan sepak bola di Old Tafford. Dan yang menang tentu saja Manchester United. Dulunya, aku ingin sekali kuliah di Manchester.’Biar bisa nonton MU setiap hari’ kataku pada ayah. Ayah hanya tersenyum. Setelah puas mengamati permainan seru kesebelasan The Red Devils itu, ayah membawaku ke stasiun antariksa NASA. Di sana banyak sekali peralatan-peralatan canggih yang selama ini hanya bisa kulihat di notebook ayah. Aku tertarik dengan sebuah teleskop raksasa yang berada di pusat hall. Aha! Dengan teleskop ini aku bisa mengamati rasi-rasi bintang dengan sangat jelas dan lebih terang. Tiba-tiba sebuah benda sangat terang meluncur ke arahku. Silau!

L_J

”Dey, kamu sudah sadar?”
Terdengar suara yang sangat aku kenal. Ayah. Suaranya sudah jauh lebih jernih dari pada sebelumnya. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Yang aku tahu, aku berada di depan ruang injeksi ayah. Namun, sekarang aku berada di ruang ICU, kutahu dari tulisan besar di balik pintu.
 Tak berapa lama rasa sakit itu kembali muncul, tak hanya di dada sebelah kiriku, namun di sekujur tubuhku. Kucoba mengerutkan kening dan menggigit bibir menahan rasa sakit. Tapi, yang terjadi malah tubuhku semakin penuh dengan keringat dan kurasakan hawa dingin menjalari sendi-sendiku. Ayah memegang erat tanganku. Kuperhatikan, telapak tanganku yang tadinya merah berangsur-angsur pucat. Bayangan ayah dan perawat yang mejagaku menjadi kabur. Semakin lama-semakin kabur. Redup dan ...
Pet!
Semua menjadi gelap. Tak ada warna sedikit pun. Benar-benar gelap.

L_J


*cerpen yang mengkhayal secara biologi, tapi kan anything's possible!

Read More......
1

Warisan Ki Hajar Dewantara, Riwayatmu Kini..

| Tuesday 13 July 2010



Para pemikir negeri yang saya hormati,

Pendidikan adalah pondasi pembangunan suatu bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang sukses mencerdaskan masyarakatnya. Sekarang pertanyaannya adalah ‘Benarkah pendidikan di Tanah Air belum berkualitas?’ Pertanyaan sederhana ini cukup tepat untuk mengawali perbincangan kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Tidak dipungkiri, pendidikan kita masih dilingkupi banyak persoalan. Bahkan secara umum bisa dikatakan bahwa pendidikan kita mengalami penurunan kualitas. Hal itu terlihat dari menurunnya kualitas dan penghargaan terhadap riset, serta penurunan kualitas sumber daya manusia.

Semua ini tak lepas dari perjalanan sejarah bangsa kita. Kita telah kehilangan momentum penting dalam perbaikan mental dan kualitas pendidikan dasar kita. Ya, kita terlalu menyibukkan diri dengan urusan politik setelah proklamasi kemerdekaan. Padahal di negara lain, seperti Jepang, segera setelah perang berakhir, mereka langsung memabangun pondasi pendidikan dan kualitas pengajar. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan politik kita lah yang tidak medukung pembentukan mental berpendidikan sejak awal. Kita bisa menengok Orde Baru. Pada masa itu pemerintah cenderung lebih mementingkan eksplorasi Sumber Daya Alam daripada Sumber Daya Manusia. Akibatnya, pendidikan di Indonesia kurang diperhatikan. Pada akhirnya, suatu saat akan terjadi kemandekan pola berpendidikan.

Salah satu faktor yang menyebabkan kemandekan pola pikir tersebut adalah anggapan bahwa pemikiran Barat lebih maju dan lebih elegan sehingga lebih dijunjung dalam pembuatan kebijakan dan praktek pendidikan. Misalnya, penerapan paradigma belajar yang lebih memusat ke guru (teacher center learning), padahal dalam Ki Hadjar Dewantara telah dikenal konsep guru yang ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Sesungguhnya, disadari atau tidak, pemikiran pendidikan dari budaya Timur tidak kita perhatikan. Ironisnya, kita justru bangga dengan menerima barang jadi dari Amerika, Eropa, atau Australia. Padahal, pemikiran-pemikiran dari budaya Timur, seperti Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa-Yogyakarta), Mohammad Sjafei (INS Kayutanam-Padang), KH Imam Zarkasyi (Pondok Modern Gontor-Ponorogo), atau lainnya cukup bagus. Mereka menjunjung tinggi budaya ketimuran yang adiluhur.

Bahkan UNESCO sendiri kini mulai mengadopsi pemikiran-pemikiran yang digagas oleh Ki Hadjar ata Syafei. Untuk itulah keberpihakan politik pada dunia pendidikan sangat penting bagi perkembangan pemikiran tokoh-tokoh lokal dan ide-ide yang berasal dari budaya ketimuran. Jika pemerintah tidak segera merespon dengan kebijakan yang lebih berpihak pada dunia pendidikan, maka kemandekan ini akan terus berlanjut.
Sebenarnya, saat ini banyak gagasan orisinil tentang sekolah alternatif yang memberikan metode pembelajaran yang efektif dengan eksperimen-eksperimennya. Namun banyak dari mereka yang tidak diterima. Hal ini disebabkan oleh pola pikir yang kurang menerima ide-ide lokal dibandingkan ide-ide Barat yang terlihat “Wah”.

Padahal sekolah-sekolah tersebut lebih bisa dijangkau sampai kalangan bawah dibandingkan sekolah formal. Apalagi tidak semua anak merasa nyaman belajar di sekolah formal. Ditambah lagi keluarnya PP Wajar terbit, pemerintah pusat maupun daerah dituntut harus mampu memberikan perhatian selain pendidikan formal, yakni pendidikan informal dan nonformal. ­­­­Seperti dalam pandangan Ki Hadjar, pendidikan itu bersifat terbuka dan komponen pelaksanya adalah sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Namun pada kenyataannya, maasyarakat saat ini cenderung melimpahkan tugas medidik kepada pihak sekolah saja. Jelas ini akan sangat merugikan banyak pihak dan mengurangi kreatifitas anak untuk mengekspresikan kemampuannya dengan sumber yang tidak terbatas.

Pendidikan kita juga terganggu dengan adanya pergantian kurikulum yang tidak jarang hanya mengadopsi pemikiran pakar terdahulu. Padahal pemikiran-pemikiran terkini ada ang lebih bisa membuat siswa lebih kreatif. Oleh karena itulah, mutu pendidikan kita cenderung menurun.
Lebih ironis lagi, pendidikan kita hanya mengajarkan anak dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi untuk terus menggeluti berbagai ilmu tanpa mengajaknya mencari “sesuatu yan baru”. Sehingga mereka cenderung pasif dan menunggu ilmu dari pengajar.

Sudah semestinya konsep pendidikan ini diubah menjadi lebih modern. Ini adalah tugas semua pihak. Motor penggeraknya adalah guru yang harus siap mengajak siswanya untuk lebih aktif dan kreatif.

Jika kita bersedia menjaga komitmen ini, maka pendidkan di Tanah Air kita pasti akan menjadi lebih baik. Pemerintah pun harus berkomitmen untuk mewujudkan kebijakan yang lebih bersinergi dengan kemajuan pendidikan. Salah satu contohya adalah pendidikan yang menjangkau semua kalangan dan peningkatan kesejahteraan guru. Dengan begitu, semua golongan masyarakat bisa mengenyam pendidikan dibarengi kesejahteraan pengajar yang membuat profesinya dijalani dengan lebih berkualitas.

Oleh karena itu, mulailah mendukung peningkatan kualitas penididikan di negeri tercinta kita ini dengan keikutsertaan kita dari segala segi kehidupan, entah itu profesi pejabat atau rakyat jelata sekalipun. Pendidikan adalah hak dan kewajiban kita semua. Mari belajar, mari mengajar. Jayalah pendidikan Indonesia!

Read More......