Setiap manusia diciptakan sempurna, karena penciptanya adalah Zat Yang Mahasempurna.
Saya terkagum-kagum pada semangat Om Pepeng yang masih kuat terasa sekalipun beliau terbaring di atas tempat tidur saat mengisi seminar kepemimpinan YDBP tempo lalu. Multiple schlerosis yang menggerogoti tubuhnya tidak lantas menyurutkan rasa syukur dan semangat muda di hatinya. Dulu beliau pelawak, kini beliau tetap menyenangkan dengan cara yang lain.
Ironisnya, kenapa, kita, yang masih sangat muda ini, yang masih mampu berjalan dan pergi kemana pun yang kita suka, terkadang masih sempat mengeluh dan tidak berbuat apa-apa. Betapa tidak bersyukurnya kita..
Ketika kita mengeluh, kita begitu iri melihat orang lain yang masih dapat tersenyum riang. Seolah-olah keberuntungan tidak berpihak pada kita. Namun, jika dipikirkan kembali, kenapa tidak kita coba “meriangkan hati” kita sendiri dan mencari keberuntungan kita sendiri? Lagi-lagi saya teringat pada kata “bersyukur”.
Benar juga ya, bersyukur adalah cara seseorang mengungkapkan betapa beruntung hidupnya sehingga terlalu berharga untuk dihabiskan dengan mengeluh.
Ya, Tuhan menciptakan setiap manusia dengan komposisi yang sama. Tidak ada kata mayoritas dan minoritas atau normal dan tidak normal. Definisi “normal” sendiri adalah definisi buatan manusia yang menggolongkan manusia secara “tampak” dan bukan secara komposisi keseluruhan. Saya, Anda, dia, mereka, kita semua sama. Ketika kita mensyukuri apa yang Telah Tuhan berikan kepada kita, apapun itu, maka kita akan mendefinisikan “normal” itu dengan “Ini lho saya! Saya seperti ini dan saya menikmati diri saya yang seperti ini.”.
Pernahkah timbul pertanyaan, “Apakah Tuhan Yang Maha Sempurna akan menciptakan sebuah kecacatan atau ketimpangan tanpa Dia kehendaki, tanpa Dia seimbangkan dengan kelebihan yang lain?” Tentu tidak! Semua pasti sudah ditakar sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu ciptaan dengan komposisi SEMPURNA. Ada orang-orang berkebutuhan khusus terlihat “berbeda” karena dirinya lah yang membedakan diri, dirinya lah yang merasa kurang dari orang-orang di sekitarnya. Namun, masih banyak dari mereka yang lain, yang “menyejajarkan” diri mereka dengan orang-orang di sekitarnya, yang beraktivitas seperti orang kebanyakan, bahkan lebih produktif dari orang kebanyakan yang “normal”.
Membedakan diri dan menganggap diri sendiri selalu kurang dari orang lain sama artinya dengan menutup pintu bagi orang lain untuk menerima diri kita apa adanya. Padahal, seandainya tetap bersikap “biasa” pun dengan kespesialan itu, kita akan menjadi pribadi yang lebih menyenangkan dan bermanfaat.
Bukan juga bermaksud menyamakan dengan bunglon yang mengubah warna tubuhnya dengan lingkungannya. Jadilah berlian, yang sekalipun diletakkaan di air jernih, di air keruh, di lumpur, dia tetap bernilai sebagai dirinya sendiri, berlian. Menjadi diri sendiri, mencintai keadaan diri sendiri.
Masih punya alasan untuk mengeluh? Masih punya alasan untuk bersedih? Kita bukan orang paling bodoh sedunia, bukan yang paling miskin sedunia, bukan yang paling berpenyakitan sedunia. Memangnya kita dapat membuktikan keyakinan yang menyatakan diri sebagai “yang paling-paling” itu? Apa parameternya? Validkah?
Sudahlah.. tidak perlu menguras tenaga dengan menilai diri kita dengan “yang paling-paling” itu. Selagi kita masih dapat bangkit, bangunlah! Jika kekurangan kita yakini tadi dapat diperbaiki, perbaikilah! Jika tidak, terimalah dengan rasa syukur bahwa Tuhan menciptakan racun dengan penawarnya. Tentu ada potensi-potensi lain yang dapat menyeimbangkan kekurangan itu. Gali dan kembangkan! Maka jadilah kita “manusia normal yang sesungguhnya”.
Depok, 9 Desember 2011 20:16
0 comments:
Post a Comment
Kasih komentar dong ^^